Perspektif
realisme berakar dari asumsi dasar tentang pesimisme dan skeptisisme
terhadap sifat dasar manusia. Pesimisme dan skeptisisme tersebut
terutama tentang peluang yang sangat kecil dalam kemajuan politik
internasional dan politik domestik, yang kemudian dapat disebut sebagai
asumsi kedua. Asumsi dasar ketiga adalah bahwa dunia ini sebenarnya
terdiri atas negara-negara berdaulat yang saling terlibat konflik
anarkis. Perang lah yang kemudian menjadi penyelesaian dari konflik
tersebut. Asumsi keempat adalah menjunjung tinggi keamanan nasional dan
kelangsungan hidup negara (Jackson & Sorensen 1999:88).
Sedangkan
Gilpin (1986:305) mengemukakan bahwa terdapat dua penekanan utama pada
perspektif realis. Pertama, adanya pemaksaan politis yang didasari oleh
egoisme manusia. Kedua, yaitu tidak adanya pemerintahan internasional
yang menyebabkan anarki, sehingga kemudian membutuhkan keunggulan power
dan keamanan. Dalam konteks ini, kaum realis menggunakan keamanan
nasional dan kelangsungan hidup negara sebagai dasar normatif penyebaran
doktrin dan pengambilan kebijakan luar negerinya.
Bagi kaum realis, negara (state) adalah aktor utama dalam hubungan internasional, sekaligus menekankan pada hubungan antarnegara (interstate relations). Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal (unitary)
dan rasional. Maksudnya adalah bahwa dalam tataran negara, perbedaan
pandangan politis telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara,
sedangkan negara dianggap rasional karena mampu mengkalkulasikan
bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil yang maksimal (
Viotti & Kauppi 1998:55).
Realisme
dapat diklasifikasikan menjadi tiga, berdasarkan intensitas dan
eksklusifitasnya dalam menjalankan komitmen terhadap nilai-nilai pokok
realisme. Pertama, realisme radikal yang hanya fokus pada power dan kepentingan pribadi dalam politik internasional. Kedua, yaitu realisme yang kuat (strong realism) yang menekankan pada dominasi power, kepentingan pribadi, dan konflik antar negara. Sedangkan ketiga, yaitu realisme lemah (hedged realism) masih memperhitungkan aspek lain yang penting (selain power dan interest) dalam politik internasional.
Realisme Klasik, Realisme Neoklasik, Realisme Strategis, dan Neorealisme
Realisme
klasik dikemukakan oleh ilmuwan sosial dan politik seperti Thucydides,
Niccolo Machiavelli, dan Thomas Hobbes. Thucydides melihat bahwa perang
merupakan langkah rasional dan masuk akal untuk mencapai keamanan dan
kelangsungan hidup negara karena negara tidak memiliki pilihan lain
selain politik kekuasaan yang harus mereka jalankan dalam kondisi yang
anarkis. Sedangkan asumsi dasar Machiavelli adalah bahwa nilai politik
tertinggi adalah kebebasan nasional, yaitu kemerdekaan. Dalam
mewujudkannya, penguasa dituntut untuk memiliki kekuatan mempertahankan
kepentingan negara bagaikan singa, sekaligus harus mampu berperilaku
cerdik seperti rubah.
Dalam bukunya yang berjudul Leviathan
(1651), Thomas Hobbes menguraikan tentang tiga asumsi dasar realisme,
yaitu (1) manusia adalah sama, (2) manusia berinteraksi dalam lingkungan
yang anarkis, dan (3) manusia diarahkan oleh kompetisi, rasa
ketidakpercayaan diri (diffidence), dan kemuliaan (glory). Oleh karena itu kemudian muncul konsep bellum omnium contra omnes, atau war of all against all, semua manusia pada dasarnya berkompetisi demi kepentingannya sendiri. Secara singkat realisme klasik a la
Hobbes menekankan pada kekuatan politik dan hukum internasional. Akan
tetapi, upaya untuk menyelesaikan masalah politik, terutama politik
internasional, melalui aturan hukum atau kebijakan politik bersifat
tidak permanen. Pemikiran Hobbes tersebut didasari oleh realitas dilema
keamanan (security dilemma) yang terjadi saat pencapaian
keamanan perseorangan dan domestik melalui penciptaan negara selalu
disertai dengan ketidakstabilan keamanan nasional dan interrnasional
yang berakar dari sistem anarki negara.
Tidak jauh berbeda dengan pandangan sebelumnya, realisme neoklasik Morgenthau mengasumsikan bahwa sifat dasar manusia adalah animus dominandi
(manusia haus akan kekuasaan) dan mementingkan diri sendiri. Hans
Morgenthau (1985:4-17) mengemukakan asumsinya dalam “enam prinsip
realisme politik”, yaitu (1) politik berakar dari sifat dasar manusia
yang mementingkan diri sendiri, (2) politik adalah wilayah tindakan
otonom yang tidak dapat terlepas dari masalah ekonomi dan moral, (3)
Politik internasional adalah arena bagi konflik kepentingan-kepentingan
negara, (4) etika hubungan internasional berbeda jauh dari moralitas
pribadi, (5) tidak ada negara yang mampu memaksakan ideologinya, dan (6)
manusia terbatas dan tidak sempurna. Bagi kaum realisme klasik,
perimbangan kekuatan (balance of power) dianggap penting karena dapat mencegah adanya hegemoni yang dikhawatirkan akan menguasai dunia.
Di
samping itu, Thomas Schelling (1980; 1996) mengemukakan ide realisme
strategis yang pada intinya fokus pada pembuatan kebijakan luar negeri.
Realisme strategis versi Schelling ini muncul pada era nuklir, yang
dalam praktiknya lebih menggunakan analisis strategis yang behavioral
dibandingkan kerangka normatif realisme dalam hubungan internasional.
Alat-alat dalam realisme strategis adalah kecerdasan, ketegangan antar
negara yang terlibat, dan keberanian untuk mengambil resiko.
Era
realisme kontemporer yang dibawa oleh Schelling juga diikuti oleh
Kenneth Waltz (1979) yang membawa konsep neorealisme. Bagi Waltz, fokus
utama hubungan internasional bukan lagi terletak pada aktornya, tetapi
pada sistem di mana aktor-aktor tersebut berinteraksi. Fokus utama dalam
neorealisme adalah struktur sitem dan distribusi kekuatan relatif.
Waltz lebih menganggap bahwa sistem bipolar lebih menjamin keterjaminan
keamanan dunia dibandingkan dengan sistem multipolar. Sekali lagi,
konsep perimbangan kekuatan menjadi fokus utama bagi konsep perdamaian
dunia versi Waltz. Akan tetapi, Waltz tidak memberikan arah kebijakan
praktis bagi penyelesaian konflik dunia. Hal ini sejalan dengan
terbatasnya pilihan yang disebabkan oleh struktur internasional yang
membatasi gerak para aktor yang terlibat di dalamnya. Bagi Waltz, negara
yang berkekuatan besar adalah negara yang sejalan dan menganut sistem
yang berlaku dalam skala internasional.
Kritik terhadap Realisme dan Neorealisme
Jack Donnelley dalam tulisannya yang berjudul Realism dalam buku Theories of International Relations
menyatakan bahwa realisme bukan merupakan teori preskriptif, atau teori
yang memberikan petunjuk. Selain itu, realisme juga teori yang fokusnya
terlalu sempit. Jackson dan Sorensen menambahkan bahwa realisme gagal
menangkap perluasan politik internasional. Secara umum saya setuju
dengan pendapat ketiga ilmuwan tersebut. Penjelasannya, realisme hanya
menjelaskan masalah politik internasional melalui aspek historis. Para
scholar hanya melihat berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi,
seperti Thucydides yang mengangkat teori realisme klasik berdasarkan
fakta persaingan state pada masa Yunani kuno. Sedangkan
ketidakmampuan realis dalam memprediksikan apa yang akan terjadi dalam
politik internasional semakin nyata terlihat manakala tidak dapat
menjelaskan dan menangkap adanya aktor penting lain yang bukan negara.
Misalnya saja transnasional company (TNC) dan Lembaga Swadaya Masyarakat
atau NGO. Padahal pada saat ini NGOs dan TNCs memiliki peran penting
dalam mempengaruhi aktor negara untuk membuat kebijakan sesuai dengan
kepentingan mereka. Kurang terbukanya realisme terhadap perubahan
konstelasi politik internasional ini menyebabkan kurang “luwes”nya teori realisme jika diterapkan pada kondisi dunia saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar